BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar
Belakang
Sejarah Pergerakan Nasional sebagai
fenomena historis merupakan hasil dari perkembangan faktor ekonomi, sosial,
politik, kultural dan religius dan di antara faktor-faktor itu saling terjadi
interaksi. Kata - pergerakan‖ mencakup semua macam aksi yang dilakukan dengan
organisasi moden ke arah kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme sendiri mengacu
pada faham yang mementingkan perbaikan dan kesejahteraan nasio atau bangsanya.
Penyebutan nama Indonesia
yang berfungsi simbolis dalam Sejarah Pergerakan Nasional tidak dengan
sendirinya terjadi tetapi melalui proses panjang dan dengan makin majunya
pergerakan nasional sebutan indonesia‖ meripakan keharusan. Sejarah
Pergerakan Nasional mempunyai pengertian dan menunjuk pada seluruh proses
terjadinya dan berkembangnya nasionalisme Indonesia dalam segala
perwujudannya., berdasarkan kesadaran, sentimen bersama dan keinginan berjuang
untuk kebebasan rakyat dalam wadah negara kesatuan.
Nasionalisme Indonesia yang dalam
perkembangannya mencapai titik puncak setelah Perang Dunia II yaitu dengan
diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia berarti bahwa pembentukan nasion
Indonesia berlangsung melalui proses sejarah yang panjang. Timbulnya
nasionalisme Indonesia khususnya nasionalisme Asia umumnya berbeda dengan
timbulnya nasionalisme di Eropa. Jelas bahwa nasionalisme Indonesia mempunyai
kaitan erat dengan kolonialisme Belanda yang sudah beberapa abad lamanya
berkuasa di Indonesia. Usaha untuk menolak kolonialisme inilah yang merupakan
manifestasi dari penderitaan dan tekanan-tekanan yang disebut Nasionalisme.
Ada dua macam teori tentang
pembentukan nation. Pertama, yaitu teori kebudayaan (cultuur) yang
menyebut suatu bangsa itu adalah sekelompok manusia dengan persamaan
kebudayaan. Kedua, teori negara (staat) yang menentukan terbentuknya suatu
negara lebih dahulu adalah penduduk yang ada di dalamnya disebut bangsa, dan
ketiga, teori kemauan (wils), yang mengatakan bahwa syarat mutlak yaitu adanya
kemauan bersama dari sekelompok manusia untuk hidup bersama dalam ikatan suatu
bangsa, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku dan agama. Mengenai timbul
atau munculnya dan perkembangan nasionalisme Indonesia Prof.
Wertheim dalam Taufik Abdullah (2001:
hal 84) menjelaskan sebagai suatu bagian integral dari sejarah politik,
terutama apabila ditekankan pada konteks gerakan-gerakan nasionalisme pada masa
pergerakan nasional. Wertheim juga menambahkan bahwa faktor-faktor perubahan
ekonomi, perubahan system status, urbanisasi, reformasi agama Islam, dinamika
kebudayaan, yang semuanya terjadi dalam masa kolonial telah memberikan
kontribusi perubahan reaksi pasif dari pengaruh Barat kepada rekasi aktif
daripada nasionalisme Indonesia. Nasionalisme bukan semata-mata proses
integrasi pada tahap awal, akan tetapi integrasi itu mencapai puncak tertinggi
yaitu terbentuknya nasion Indonesia. Bukan sesuatu yang berlebihan kalau
integrasi politik dipakai pegangan dalam melihat proses terbentuknya bangsa
Indonesia. Akan tetapi perlu dilihat bahwa periode post proklamasi masih ada di
dalam jalinan nasionalisme
1.3 Tujuan
tujuan
dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui tahap- tahap perkembangan
Indonesia yang dilakukan pada masa pergerakan nasional dan juga bagaimana
terbentuknya Negara Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pergerakan Nasional dan Terbentuknya Bangsa Indonesia
Kata
nasionalisme berasal dari kata Nation yang berati bangsa. Dalam bahasa Latin
kata Nation berati kelahiran kembali, suku kemudian bangsa. Bangsa adalah
sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu dan memiliki hasrat untuk
bersatu karena adanya persamaan nasib, cita-cita dan kepentingan bersama.
Menurut Han Kohn adalah suatu paham yang menempatkan kesetiaan tertinggi
individu harus diserakan kepada negara dan bangsa. Bangkitnya
nasionalisme Indonesia didorong oleh faktor intern dan ekstern.
1. Faktor
Intern
Faktor-faktor
intern yang menyebabkan lahir dan berkembangnya nasionalisme Indonesia adalah
sebagai berikut.
a. Kejayaan
Bangsa Indonesia
sebelum
kedatangan bangsa Barat, di wilayah Nusantara sudah berdiri kerajaan-kerajaan
besar, seperti Sriwijaya, Mataram dan Majapahit. Kejayaan masa lampau itu
menjadi sumber inspirasi untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
b. Penderitaan
Rakyat akibat Politik Drainage (Pengerukan Kekayaan)
Politik
drainage itu mencapai puncaknya ketika diterapkan sistem tanam paksa yang dilanjutkan
dengan sistem ekonomi liberal.
c.
Adanya Diskriminasi Rasial
Diskriminasi
merupakan hal menonjol yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam
kehidupan sosial pada awal abad ke-20. Dalam bidang pemerintahan, tidak semua
jabatantersedia bagi kaum pribumi.
d.
Munculnya Golongan Terpelajar
Pada
awal ke-20, pendidikan mendapatkan perhatian yang lebih baik dari pemerintah
kolonial. Hal itu sejalan dengan diterapkannya politik etis. Melalui penguasaan
bahasa asing yang diajarkan di sekolah-sekolah modern, mereka dapat mempelajari
berbagai ide-ide dan paham-paham baru yang berkembang di Barat, seperti ide
tentang HAM, liberalisme, nasionalisme, dan demokrasi.
2.
Faktor Ekstern
Lahir
dan berkembangnya nasionalisme Indonesia juga didorong oleh faktor-faktor
ekstern, antara lain berikut ini.
a. Kemenangan
Jepang terhadap Rusia (1904-1905)
Kemenangan
Jepang dalam Perang Rusia-Jepang telah berhasil mengguncangkan dunia.
Kemenangan Jepang tersebut berhasil menggugah kesadaran bangsa-bangsa Asia dan Afrika
untuk melawan penjajahan bangsa-bangsa kulit putih.
b.
Kebangkitan Nasionalisme Negara-Negara Asia-Afrika
Kebangkitan
nasional bangsa-bangsa Asia-Afrika memberikan dorongan kuat bagi bangsa
Indonesia untuk bangkit melawan penindasan pemerintahan kolonial. Revolusi
Tiongkok (1911) dan pementukan partai Kuomintang oleh Sun Yan Set yang berhasil
menjadikan Cina sebagai negara mereka pada tahun (1912).
b. Masuknya
Paham-Paham Baru
Paham-paham
baru seperti liberalisme, demokrasi dan nasionalisme muncul setelah
terjadinya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis. Hubungan antara Asia dan
Eropa menyebabkan paham-paham itu menyebar dari Eropa ke Asia, termasuk ke
Indonesia.
1.
Boedi Oetomo
Dengan
semangat hendak meningkatkan semangat masyarakat, Mas Ngabehi Wahidin Soediro
Husodo, seorang doktor jawa dan termasuk seorang priayi, tahun 1906-1907
melakukan kempanye di kalangan priayi di Pulau Jawa.
Pada
akhir 1907, Wahidin bertemu dengan Soetomo, pelajar STOVIA di Batavia.
Pertemuan tersebut berhasil mendorong didirikannya organisasi yang diberi nama
Boedi Oetomo pada hari rabu tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Soetomo kemudian
ditunjuk sebagai ketuanya. Tanggal berdirinya Boedi Oetomo hingga saat ini
diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
2.
Sarekat Islam
Pada
akhir 1911, Haji Samanhudi di Solo
menghimpun para pengusaha batik di dalam sebuah organisasi
yang bercorak agama dan ekonomi, yaitu Sarekat
Dagang Islam (SDI).
Setahun kemudian pada bulan November 1912 nama SDI diganti menjadi Sarekat Islam (SI) dengan ketuanya Haji Oemar Said Cokroaminoto, sedangkan Samanhudi sebagai ketua kehormatan. Perubahan nama tersebut bertujuan agar keanggotaannya menjadi luas, bukan hanya dari kalangan pedagang. Apabila dilihat dari anggaran dasarnya, tujuan pendirian Sarekat Islam adalah sebagai berikut.
Setahun kemudian pada bulan November 1912 nama SDI diganti menjadi Sarekat Islam (SI) dengan ketuanya Haji Oemar Said Cokroaminoto, sedangkan Samanhudi sebagai ketua kehormatan. Perubahan nama tersebut bertujuan agar keanggotaannya menjadi luas, bukan hanya dari kalangan pedagang. Apabila dilihat dari anggaran dasarnya, tujuan pendirian Sarekat Islam adalah sebagai berikut.
A.
Mengembangkan jiwa dagang.
B.
Memberikan bantuan kepada anggota-anggota yang kesulitan.
C.
Memajukan pengajaran dan semua.
D.
Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang agama Islam.
Aktivitas SI lebih mengutamakan politik tidak disetujui oleh sebagian besar anggotanya. Mereka menginginkan SI memperhatikan masalah-masalah keagamaan. Dalam kondisi itu SI memutuskan untuk bekerja sama dengan pemerintahan kolonial dan berganti nama menjadi Partai Sarikat Islam. Sehubungan dengan meluasnya semangat persatuan dan Sumpah Pemuda, nama tersebut diubah menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930 dengan ketuanya Haji Agus Salim.
Aktivitas SI lebih mengutamakan politik tidak disetujui oleh sebagian besar anggotanya. Mereka menginginkan SI memperhatikan masalah-masalah keagamaan. Dalam kondisi itu SI memutuskan untuk bekerja sama dengan pemerintahan kolonial dan berganti nama menjadi Partai Sarikat Islam. Sehubungan dengan meluasnya semangat persatuan dan Sumpah Pemuda, nama tersebut diubah menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930 dengan ketuanya Haji Agus Salim.
3.
Indische Partij
Indische
Partij berdiri di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912. Organisasi ini juga
dimaksudkan sebagai pengganti Indische Bond. Sebagai organisasi kaum Indonesia
dan Eropa yang didirikan pada tahun 1898. Ketiga tokoh pendiri Indische Partij
dikenal dengan Tiga Serangkai, yaitu Douwes Dekker (Danudirdja Setiabudi),
dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat
(Ki Hajar Dewantara). Indische Partij merupakan
pergerakan nasional
yang
bersifat politik murni dengan semangat nasionalisme modern.
Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Indonesia dianggap sebagai National Home bagi semua orang, baik penduduk bumi putera maupun keturunan Belanda, Cina, dan Arab, yang mengaku Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Paham ini pada waktu itu dikenal sebagai Indisch Nasionalisme, yang selanjutnya melalui perhimpunan Indonesia dan PNI, diubah menjadi Indonesische Nationalisme atau Nasional Indonesia. Hal itulah yang menyatakan bahwa Indische Partij sebagai partai politik pertama di Indonesia.
Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Indonesia dianggap sebagai National Home bagi semua orang, baik penduduk bumi putera maupun keturunan Belanda, Cina, dan Arab, yang mengaku Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Paham ini pada waktu itu dikenal sebagai Indisch Nasionalisme, yang selanjutnya melalui perhimpunan Indonesia dan PNI, diubah menjadi Indonesische Nationalisme atau Nasional Indonesia. Hal itulah yang menyatakan bahwa Indische Partij sebagai partai politik pertama di Indonesia.
4.
Perhimpunan Indonesia
Perhimpunan
Indonesia didirikan pada tahun 1908 oleh orang-orang Indonesia yang
berada di Belanda, antara lain Sutan Kasayangan dan R.N Noto
Suroto. Mula-mula organisasi itu bernama Indische Vereeniging. Akan tetapi sejak berakhirnya Perang Dunia I
perasaan anti kolonialisme dan imperialisme di kalangan pemimpin-pemimpin
Indische Vereeniging semakin menonjol.
Pada tahun 1922, Indische Vereeniging berubah menjadi Indonesische Vereeniging. Sejak tahun 1925, selain nama dalam bahasa Belanda juga digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu Perhimpunan Indonesia. Oleh karena itu, semakin tegas bahwa PI bergerak dalam bidang politik.
Dalam kalangan pergerakan nasional di Indonesia, pengaruh PI cukup besar. Beberapa organisasi pergerakan nasional mulai lahir karena mendapatkan inspirasi dari PI, seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926, Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, dan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia) tahun 1927.
Pada tahun 1922, Indische Vereeniging berubah menjadi Indonesische Vereeniging. Sejak tahun 1925, selain nama dalam bahasa Belanda juga digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu Perhimpunan Indonesia. Oleh karena itu, semakin tegas bahwa PI bergerak dalam bidang politik.
Dalam kalangan pergerakan nasional di Indonesia, pengaruh PI cukup besar. Beberapa organisasi pergerakan nasional mulai lahir karena mendapatkan inspirasi dari PI, seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926, Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, dan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia) tahun 1927.
5.
Partai Komunis Indonesia
Ketika
Sosial Democratische Arbeiderspartij (SDAP) di Belanda pada tahun 1918
mengumumkan dirinya menjadi Partai Komunis Belanda (CPN), para anggota ISDV
dari golongan Eropa mengusulkan mengikuti jejak itu. Oleh karena itu, pada
tanggal 23 Mei 1920 diubah lagi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di
dalam susunan pengurus baru terbentuk tertera antara lain Semaun sebagai ketua,
Darsono sebagai wakil ketua, Bergsma sebagai sekretaris, Dekker sebagai
bendahara, serta Baars dan Sugono sebagai anggota pengurus. PKI tumbuh
menjadi partai politik dengah jumlah yang sangat besar. Akan tetapi karena
jumlah anggotanya intinya kecil, partai itu kurang dapat mengontrol dan menanamkan
disiplin kepada anggotanya.
Setelah
berhasil menempatkan dirinya sebagai partai besar, PKI merasa sudah kuat
untuk melakukan pemberontakan pada tahun 1926. Hampir sepuluh tahun kemudian,
Komitern mengirimkan seorang tokoh komunis kembali ke Indonesia. Tokoh tersebut
ialah Musso yang pada bulan April 1935 mendarat di Surabaya. Dengan bantuan
Joko Sujono, Pamuji, dan Achmad Sumadi, ia membentuk yang diberi nama PKI
Ilegal. Kegiatan utama kaum komunis kemudian disalurkan melalui Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo) dengan tokoh utamanya Amir Syarifudin.
6.
Partai Nasional Indonesia
Partai
Nasional Indonesia (PNI) dibentuk di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 dengan
tokoh-tokohnya Ir. Soekarno, Iskaq, Budiarto, Cipto Mangunkusumo, Tilaar,
Soedjadi, dan Soenaryo. Dalam pengurus besar PNI, Ir. Soekarno ditunjuk sebagai
ketua, Iskaq sebagai sekretaris/bendahara, dan Dr. Samsi sebagai komisaris.
Sementara itu dalam perekrutan anggota disebutkan bahwa mantan anggota PKI
tidak diperkenankan menjadi anggota PNI, juga pegawai negeri yang memungkinkan
berperan sebagai mata-mata pemerintah kolonial. Ada dua macam cara yang
dilakukan oleh PNI untuk memperkuat diri dan pengaruhnya di dalam masyarakat,
yaitu:
a. Usaha ke dalam: Usaha-usaha terhadap lingkungan sendiri, antara lain mengadakan kursus
a. Usaha ke dalam: Usaha-usaha terhadap lingkungan sendiri, antara lain mengadakan kursus
kursus,
mendirikan sekolah-sekolah dan bank-bank.
c. Usaha
ke luar: Dengan memeperkuat opini publik terhadap tujuan PNI, antara lain
melalui
d. rapat-rapat
umum dan menerbitkan surat kabar Benteng Priangan di Bandung dan Persatuan
Indonesia di Batavia.
Peningkatan
kegiatan rapat-rapat umum di cabang-cabang sejak bulan Mei 1929 menimbulkan
suasana yang tegang. Pemerintah kolonial Belanda lebih banyak melakukan
pengawasan secara tegas terhadap kegiata-kegiatan PNI yang dianggap
membahayakan keamanan dan ketertiban. Sering kali polisi menghentikan pidato
karena dianggap telah menghasut rakyat.
Akhirnya
pemerintah Hindia Belanda beranggapan bahwa tiba saatnya untuk melakukan
tindakan terhadap PNI. Bahkan Gubernur Jenderal de Graef telah mendapatkan
tekanan dari konservatif Belanda yang tergabung dalam Vanderlansche Club untuk
bertindak tegas karena mereka berkeyakinan bahwa PNI melanjutkan taktik PKI.
C.
Upaya-Upaya Menggalang Persatuan
1.
Pembentukan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia
(PPPKI) Di kalangan pemimpin pergerakan nasional muncul gagasan untuk membentuk
gabungan (fusi) dari partai-partai politik yang ada. Tujuannya untuk memperkuat
dan mempersatukan tindakan-tindakan dalam menghadapi pemerintah kolonial. Usaha
itu dirintis oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, Jong Islamiten Bond, Pasundan,
Persatuan Minahasa, Sarekat Ambon dan Sarekat Madura. Pada bulan September 1926
berhasil dibentuk Komite Persatuan Indonesia. Akan tetapi, usaha tersebut tidak
berhasil dengan baik sehingga tidak satu pun organisasi gabungan (fusi) yang
dihasilkan.
Pada
tanggal 17-18 Desember 1927 diadakan sidang di Bandung yang dihadiri oleh
wakil-wakil dari PNI, Algemeene Studieclub, PSI (Partai sarekat Islam), Boedi
Oetomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, dan Indinesische studieclib.
Sidang tersebut memutuskan untuk membentuk (PPPKI) dengan tujuan sebagai
berikut.
Sebagai
suatu alat organisasi yang tetap dari federasi itu, dibentuklah dewan
pertimbangan yang terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara, dan wakil
partai-partai yang bergabung. Dr. Soetomo dari Studieclub sebagai Ketua Majelis
Pertimbangan dan Ir. Anwari dari PNI sebagai sekretaris.
2.
Gerakan Pemuda
1.
Gerakan Pemuda Kedaerahan
Trikoro
Dharmo merupakan organisasi pemuda kedaerahaan pertama di Indonesia. Trikoro
Dharmo didirikan di Gedung Stovia pada tanggal 7 Maret 1915 oleh pemuda-pemuda
Jawa, seperti Satiman, Kadarman, Sumardi, Jaksodipuro (Wongsonegoro),
Sarwono, dan Mawardi. Trikoro Dharmo berarti tiga tujuan mulia, yaitu Sakti,
Budi dan Bhakti.
Kenggotaan Trikoro Dharmo pada mulanya hanya terbatas pada kalangan pemuda dari Jawa dan Madura. Akan tetapi, diperluas dengan semboyannya Jawa Raya yang meliputi Jawa, Sunda, Bali, dan Lombok. Pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta berdiri organisasi Jong Sumatranen Bond. Tokoh-tokoh nasional yang pernah menjadi anggota Jong Sumatranen Bond, antara lain Moh.Hatta, Moh.Yamin, M. Tasil, Bahder Djohan, dan Abu Hanifah. Jong Minahasa berdiri pada tanggal 5 Januari 1918 di Manado dengan tokohnya A.J.H.W.Kawilarang dan V.Adam. Jong Celebes dengan tokoh-tokohnya Arnold Monomutu, Waworuntu, dan Magdalena Mokoginta. Jong Ambon berdiri pula pada tanggal 1 Juni 1923 di Jakarta.
Dengan semangat kedaerahaannya itu, pada kongres Trikoro Dharmo di Solo tanggal 12 Juni 1918 nama trikoro Dharmo diubah menjadi Jong Java. Kegiatan Jong Java masih tetap bergerak dalam bidang sosial budaya. Pada kongres kelima bulan Mei 1922 di Solo dan kongres luar biasa Desember 1922 ditetapkan bahwa Jong Java tidak akan mencampuri masalah politik. Anggota Jong Java hanya diperbolehkan terjun dalam dunia politik setelah mereka tamat belajar.
Kenggotaan Trikoro Dharmo pada mulanya hanya terbatas pada kalangan pemuda dari Jawa dan Madura. Akan tetapi, diperluas dengan semboyannya Jawa Raya yang meliputi Jawa, Sunda, Bali, dan Lombok. Pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta berdiri organisasi Jong Sumatranen Bond. Tokoh-tokoh nasional yang pernah menjadi anggota Jong Sumatranen Bond, antara lain Moh.Hatta, Moh.Yamin, M. Tasil, Bahder Djohan, dan Abu Hanifah. Jong Minahasa berdiri pada tanggal 5 Januari 1918 di Manado dengan tokohnya A.J.H.W.Kawilarang dan V.Adam. Jong Celebes dengan tokoh-tokohnya Arnold Monomutu, Waworuntu, dan Magdalena Mokoginta. Jong Ambon berdiri pula pada tanggal 1 Juni 1923 di Jakarta.
Dengan semangat kedaerahaannya itu, pada kongres Trikoro Dharmo di Solo tanggal 12 Juni 1918 nama trikoro Dharmo diubah menjadi Jong Java. Kegiatan Jong Java masih tetap bergerak dalam bidang sosial budaya. Pada kongres kelima bulan Mei 1922 di Solo dan kongres luar biasa Desember 1922 ditetapkan bahwa Jong Java tidak akan mencampuri masalah politik. Anggota Jong Java hanya diperbolehkan terjun dalam dunia politik setelah mereka tamat belajar.
2.
Kongres Pemuda Indonesia
1.
Kongres Pemuda I
Keinginan
untuk bersatu seperti yang didengung-dengungkan oleh Perhimpunan Indonesia (PI)
dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) telah tertanam dalam sanubari
pemuda-pemuda Indonesia. Untuk itu, pada tanggal 30 April-2 Mei 1926 di Jakarta
diadakan kongres pemuda Indonesia yang pertama.
Dalam
kongres itu dilakukan beberapa kali pidato tentang pentingnya Indonesia
bersatu. Disampaikan pula tentang upaya-upaya memperkuat rasa persatuan
yang harus tumbuh di atas kepentingan golongan, bangsa dan agama.
Selanjutnya juga dibicarakan tentang kemungkinan bahasa dan kesusastraan
Indonesia kelak dikemudian hari.
Para
mahasiswa Jakarta dalam kongres tersebut juga membicarakan tentang upaya
mempersatukan perkumpulan-perkumpulan pemuda menjadi satu badan gabumgan
(fusi). Walaupun pembicaraan mengenai fusi tidak membuahkan hasil yang
memuaskan, kongres itu telah memperkuat cita-cita Indonesia bersatu.
2.
Kongres Pemuda II
Kongres
Pemuda II diadakan dua tahun setelah Kongres Pemuda Indonesia pertama, tepatnya
pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Kongres itu dihadiri oleh wakil-wakil dari
perkumpulan-perkumpulan pemuda ketika itu diantara lain Pemuda Sumatera, Pemuda
Indonesia, Jong Bataksche Bond, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, Jong Islamiten
Bond, Jong Java, Jong Ambon dan Jong Celebes. PPPI yang memimpin kongres ini
sengaja mengarahkan kongres pada terjadinya fusi organisasi-organisasi pemuda.
susunan
panitia Kongres Pemuda II yang sudah terbentuk sejak bulan Juni 1928 adalah
sebagai berikut.
Ketua : Sugondo Joyopuspito dari PPPI
Ketua : Sugondo Joyopuspito dari PPPI
Wakil
ketua
:
Joko Marsaid dari Jong Java
Sekretaris
:
Moh. Yamin dari Jong Sumatranen Bond
Bendahara
:
Amir Syarifuddin dari Jong Bataksche Bond
Pembantu
I
:
Johan Moh. Cai dari Jong Islamiten Bond
Pembantu
II
:
Koco Sungkono dari Pemuda Indonesia
Pembantu
III
:
Senduk dari Jong Cilebes
Pembantu
IV
: J. Leimena
dari Jong Ambon
Pembantu
V : Rohyani dari Pemuda Kaum Betawi
Kongres
Pemuda II dilaksanakan selama dua hari, 27-28 Oktober 1928. persidangan yang
dilaksanakan sebanyak tiga kali di antaranya membahas persatuan dan kebangsaan
Indonesia, pendidikan, serta pergerakan kepanduan. Kongres tersebut berhasil
mengambil keputusan yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda sebagai berikut.
Rumusan
tersebut dibuat oleh sekretaris panitia, Moh. Yamin dan dibacakan oleh ketua
kongres, Sugondo Joyopuspito, secara hikmat di depan kongres. Selanjutnya
diperdengarkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan dan dibawakan oleh W.R.
Supratman dengan gesekan biola. Peristiwa bersejarah itu merupakan
hasil kerja keras para pemuda pelajar Indonesia. Dengan tiga butir Sumpah
Pemuda itu, setiap organisasi pemuda kedaerahan secara konsekuen meleburkan
diri kedalam satu wadah yang telah disepakati bersama, yaitu Indonesia Muda.
D.
Berkembangnya Taktik Moderat dan Kooperatif dalam Perkembangan Nasional
Berkembangnya
taktik moderat dan kooperatif dalam pergerakan nasional Indonesia disebabkan
oleh hal-hal sebagai berikut:
1.
Krisis ekonomi (malaise) yang terjadi sejak tahun 1921 dan
berulang pada akhir tahun1929. Bahkan, pada awal tahun 1930-an krisis ekonomi
itu tidak kunjung reda.
2. Kebijakan keras pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge menyebabkan kaum pergerakan, terutama golongan nonkooperatif, sangat menderita. Setiap gerakan yang radikal atau revolusioner akan ditindas dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawab atas keadaan di Hindia Belanda.
2. Kebijakan keras pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge menyebabkan kaum pergerakan, terutama golongan nonkooperatif, sangat menderita. Setiap gerakan yang radikal atau revolusioner akan ditindas dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawab atas keadaan di Hindia Belanda.
3.
Pada tahun 1930-an, kaum pergerakan nasional terutama yang berada
di Eropa menyaksikan bahwa perkembangan paham fasisme dan Naziisme
mengancam kedudukan negara-negara demokrasi. Demikian pula Jepang sebagai
negara fasis di Asia telah melakukan ekspansinya ke wilayah Pasifik sehingga
ada yang mendekatkan kaum nasionalis dengan penguasa kolonial, yaitu
mempertahankan demokrasi terhadap bahaya fasisme. Kesadaran itu muncul pertama
kali di kalangan Perhimpunan Indoesia yang terlebih dahulu telah melakukan
taktik kooperatif.
a. Partindo (1931)
a. Partindo (1931)
Pada
kongres luar biasa PNI di Batavia tanggal 25 April 1931 diambil
keputusan untuk membubarkan PNI. Pembubaran tersebut menimbulkan pertentangan
di kalangan pendukung PNI. Sartono dan pendukungnya membentuk Partai Indonesia
(Partindo) pada tanggal 30 April 1931.
Asas
dan tujuan serta garis-garis perjuangan PNI masih diteruskan oleh Partindo.
Selanjutnya dilakukan upaya menghimpun kembali anggota-anggota PNI yang
tercerai-cerai sehingga pada tahun 1931 berhasih dibentuk 12 cabang. Kemudian
berkembang menjadi 24 cabang dengan anggota sebanyak 7.000 orang.
Penangkapan
kembali Ir. Soekarno pada tanggal 1 Agustus 1933 melemahkan Partindo. Bung
Karno diasingkan ke Ende, Flores, pada tahun 1934. karena alasan kesehatan,
Bung Karno kemudihan dipindahkan ke Bengkulu pada tahun 1938 dan pada tahun
1942 dipindahkan kepadang karena adanya serbuan Jepang ke Indonesia. Tanpa Ir.
Soekarno, Partindo mengalami kemunduran. Partindo keluar dari PPPKI agar PPPKI
tidak terhalang geraknya karena adanya larangan untuk mengadakan rapat. Dalam
menghadapi keadaan yang sulit itu, untuk kedua kalinya Sartono
membubarkan Partindo juga tanpa dukungan penuh dari anggotanya.
b. PNI Baru (1931)
b. PNI Baru (1931)
ada
bulan Desember 1931, membentuk Pendidikan Nasional Indonesia(PNI Baru).
Mula-mula Sutan Syahir dipilih sebagai ketuanya. Moh. Hatta kemudian dipilih
sebagai ketua pada tahun 1932 setelah kembali dari Belanda.
Organisasi-organisasi tersebut tetap sama-sama menggunakan taktik perjuangan
non-kooperatif dalam mencapai kemerdekaan politik. Adapun perbedaan antara PNI
Baru dengan Partindo adalah sebagai berikut:
- PPPKI oleh PNI Baru dianggap sebagai “persatean” bukan persatuan karena anggota-anggotanya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Sementara itu, Partindo menganggap PPPKI dapat menjadi wadah persatuan yang kuat daripada mereka berjuang sendiri-sendiri.
- Dalam upaya mencapai kemerdekaan, PNI Baru lebih mengutamakan pendidikan politik dan sosial. Partindo lebih mengandalkan organisasi masa dengan aksi-aksi masa untuk mencapai kemerdekaan.
- PPPKI oleh PNI Baru dianggap sebagai “persatean” bukan persatuan karena anggota-anggotanya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Sementara itu, Partindo menganggap PPPKI dapat menjadi wadah persatuan yang kuat daripada mereka berjuang sendiri-sendiri.
- Dalam upaya mencapai kemerdekaan, PNI Baru lebih mengutamakan pendidikan politik dan sosial. Partindo lebih mengandalkan organisasi masa dengan aksi-aksi masa untuk mencapai kemerdekaan.
Pada
tahun 1933, PNI Baru telah memiliki 65 cabang. Untuk mempersiapkan masyarakat
dalam mencapai kemerdekaan, PNI Baru melakukan kegiatan penerangan untuk rakyat
dan penyuluhan koperasi. Kegiatan-kegiatan PNI Baru tersebut dan ditambah
dengan sikapnya yang non-kooperatif dianggap oleh pemerintah kolonial
membahayakan. Oleh karena itu, pada bulan Februari 1934 Bung Hatta, Sutan
Syahir, Maskun, Burhanuddin, Murwoto, dan Bondan ditangkap pemerintah kolonial.
Bung Hatta diasingkan ke hulu Sungai Digul, Papua. Kemudian dipindahkan ke
Banda Neira pada tahun 1936 dan akhirnya ke
Sukabumi pada tahun 1942. Dengan demikian, hanya partai-partai yang bersikap
kooperatif saja yang dibiarkan hidup oleh pemerintah kolonial Belanda.
c.
Parindra (1935)
Pada
bulan Desember 1935 di Solo diadakan kongres yang menghasilkan penggabungan
Boedi Oetomo dengan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dan melahirkan Partai
Indonesia Raya (Parindra). R. Soetomo terpilih sebagai ketua Parindra dengan
Surabaya sebagai pusatnya. Tujuannya adalah mencapai Indonesia raya dan mulia.
Tokoh-tokoh terkemuka Parindra lainnya ialah Moh. Husni Thamrin dan Sukarjo
Wiryopranoto.
Parindra
berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil dengan cara mendirikan Rukun
Tani, membentuk serikat-serikat pekerja, menganjurkan Swadesi, dan mendirikan
Bank Nasional Indonesia. Perjuangan Parindra dalam Volksraad berlangsung hingga
akhir penjajahan Belanda. Dalam hal ini terkenal kegigihan Moh. Husni
Thamrin dengan membentuk Fraksi Nasional dan GAPI yang berhasil
memaksa pemerintah kolonial melakukan beberapa perubahan, seperti
memakai bahasa Indonesia dalam siding Volksraad dan mengganti istilah Inlander
menjadi Indonesier.
d.
Gerindo
Setelah
Partindo dibubarkan pada tahun 1936, banyak anggotanya kehilangan wadah
perjuangan. Sementara itu, Parindra yang cenderung kooperatif dianggap kurang
sesuai. Oleh karena itu, pada bulan Mei 1937 di Jakarta dibentuk Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo). Tokoh-tokohnya yang terkenal ialah A.K.Gani, Moh. Yamin,
Amir Syarifuddin, Sarino Mangunsarkoro, Nyono, Prawoto, Sartono, dan Wilopo.
Gerindo
bertujuan mencapai Indonesia merdeka, tetapi dengan asas-asas yang
kooperatif. Dalam bidang politik, Gerindo menuntut adanya parlemen yang
bertanggung jawab kepada rakyat dalam bidang ekonomi dibentuk Penuntut Ekonomi
Rakyat Indonesia (Peri) yang bertujuan mengumpulkan modal dengan
kekuatan kaum buruh dan tani berdasarkan asas nasional-demokrasi-koperasi.
Dalam bidang sosial diperjungkan persamaan hak dan kewajiban di dalam
masyarakat. Oleh karena itu, Gerindo menerima anggota dari kalangan orang Indo,
peranakan Cina, dan Arab.
e. Petisi
Sutardjo
Pada
tanggal 15 Juli 1936, Sutardjo Kartohadikusumo selaku Persatuan Pegawai
Bestuur (PPB) dalam Volkstraad mengajukan usul yang kemudian dikenal dengan
petisi Sutardjo. Petisi tersebut berisi permintaan kepada pemerintah kolonial
agar diselenggarakan musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk merencanakan
suatu perubahan dalam waktu 10 tahun mendatang, yaitu pemberian status otonom
kepada rakyat Indonesia meskipun tetap dalam lingkungan kerajaan Belanda.
Sebelum
Indonesia dapat berdiri sendiri, Sutardjo mengusulkan untuk mengambil
langkah-langkah memperbaiki keadaan Indonesia, antara lain sebagai berikut:
a.
Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya
b.
Direktur departemen diberikan tanggung jawab
c.
Dibentuk Dewan Kerajaan (rijksraad) sebagai badan tertinggi antara
Belanda dan
Indonesia
yang anggota-anggotanya merupakan wakil-wakil kedua belah pihak. Penduduk
Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan cita -citanya
memihak Indonesia.
Petisi
itu juga ditandatangani oleh I.J. Kasimo, Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung dan
Kwo Kwat Tiong. Sebagian besar dari partai-partai dan tokoh-tokoh pergerakan
juga mendukung Petisi Sutardjo. Setelah mendapatkan dukungan mayoritas anggota
Volksraad, petisi itu kemudian disampaikan kepada pemerintah kerajaan dan
Parlemen Belanda.
Golongan yang tidak setuju adalah golongan konservatif dan para pengusaha perkebunan, termasuk kelompok Vanderlandche Club (VC) menganggap petisi itu terlalu prematur dan menganggap bahwa secara ekonomi dan sosial Hindia Belanda (Indonesia) belum cukup untuk dapat berdiri sendiri. Selain itu dipermasalahkan pula tentang dapat dipertahankannya kesatuan wilayah Nusantara dalam lingkungan Pax Nederlandica karena pada kenyataannya kondisi politik Hindia Belanda belum mantap.
Golongan yang tidak setuju adalah golongan konservatif dan para pengusaha perkebunan, termasuk kelompok Vanderlandche Club (VC) menganggap petisi itu terlalu prematur dan menganggap bahwa secara ekonomi dan sosial Hindia Belanda (Indonesia) belum cukup untuk dapat berdiri sendiri. Selain itu dipermasalahkan pula tentang dapat dipertahankannya kesatuan wilayah Nusantara dalam lingkungan Pax Nederlandica karena pada kenyataannya kondisi politik Hindia Belanda belum mantap.
Pada
tanggal 16 November 1938, pemerintah Belanda memberikan jawaban bahwa petisi
itu ditolak dengan alasan-alasan sebagai berikut.
-
Perkembangan politik Indonesia belum cukup
matang untuk memerintah sendiri
sehingga
petisi itu dipandang masih terlalu prematur.
-
Dipertanyakan juga tentang kependudukan golongan
minoritas dalam struktur politik yang baru nanti.
-
Tuntutan otonomi dipandang sebagai hal yang tidak alamiah karena
pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik belum memadai.
Meskipun
petisi tersebut ditolak, pemerintah kolonial mulai melaksanakan perubahan
pemerintah pada tahun 1938. Pemerintah membentuk provinsi-provinsi di luar Jawa
dengan gubernur sebagai wakil pemerintahan pusat, sedangkan Dewan Provinsi
bertugas mengatur rumah tangga daerah.
f. Perjuangan
GAPI “Indonesia Berparlemen”
Penolakan
petisi Sutardjo mendorong munculnya gerakan menuju kesatuan nasional, kesatuan
aksi dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Gerakan itu kemudian menjelma
menjadi Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Pembentukan GAPI dipelopori oleh
M.H. Thamrin dari Parindra.
Pelaksanaan
program GAPI secara kongret mulai terwujud dalam rapatnya pada tanggal 4 Juli
1939. Dalam rapat itu diputuskan untuk mengadakan Kongres Rakyat
Indonesia yang akan memperjuangkan penentuan nasib sendiri serta persatuan
dan kesatuan Indonesia. Namun, sebelum aksi dapat dilancarkan secara
besar-besaran, pada tanggal 9 Septamber 1939 terdengar kabar bahwa Perang Dunia
II telah berkobar. Oleh karena itu, dalam pernyataan pada tanggal 19 September
1939, GAPI menyerukan agar dalam keadaan penuh bahaya dapat dibina hubungan
kerja sama yang sebaik-baiknya antara Belanda dan Indonesia.
Aksi
pertama GAPI terselenggara dengan mengadakan rapat umum di Jakarta pada tanggal
1 Oktober 1939. Pada pertengahan Desember 1939 diselenggarakan rapat umum di
beberapa tempat. Dengan semboyan “Indonesia Berparlemen” dalam setiap aksinya
GAPI mendesak pemerintah agar membentuk parlemen yang dipilih dan dari
rakyat sebagai pengganti Volksraad dan dengan pemerimtahan yang bertanggung
jawab kepada parlemen tersebut. Untuk itu, kepala-kepala departemen harus
digantikan menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
Tanggapan
pemerintah kolonial Belanda baru dikeluarkan pada tanggal 10 Februari 1940
melalui menteri jajahan Welter yang menyatakan bahwa perkembangan dalam bidang
jasmani dan rohani akan memerlukan tanggung jawab dalam bidang ketatanegaraan.
Sudah barang tentu hak-hak ketatanegaraan memerlukan tanggung jawab dari para
pemimpin. Tanggung jawab ini hanya dapat dipikul apabila rakyat telah memahami
kebijaksanaan politik. Selama pemerintah Belanda bertanggung jawab atas
kebijakan politik di Hindia Belanda, tidak mungkin didirikan parlemen Indonesia
yang mengambil
alih
tanggung jawab tersebut.
Tentu
saja penolakan itu menimbulkan kekecewaan, tetapi GAPI masih meneruskan
perjuangannya. Dalam rapat tanggal 23 Februari 1940, GAPI menganjurkan
pendirian Panitia Parlemen Indonesia sebagai tindak lanjut aksi Indonesia
Berparlemen. Akan tetapi, kesempatan bergerak bagi GAPI sudah tidak ada
lagi. Pada awal Mei 1940, Belanda diduduki oleh Jerman sehingga Perang Dunia II
telah berkobar di Negeri Belanda. Meskipun negerinya sudah diduduki oleh
Jerman, tetapi Belanda tidak mau mundur setapak pun dari bumi Indonesia.
Sikap
pemerintah Belanda yang konservatif itu tidak mengurangi loyalitas rakyat
Indonesia terhadap Belanda, bahkan ada keinginan umum untuk bekerja sama dalam
menghadapi perang itu. Sebagai imbalan dari kesetiaan bangsa Indonesia
tersebut, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer
menjanjikan perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Akan tetapi,
gagasan mengenai perubahan itu harus disimpan dahulu hingga perang selesai.
Pada tanggal 10 Mei 1941 dalam pidatonya, Ratu Wilhelmina
menyatakan kesediaannya untuk mempertimbangkan suatu penyesuaian
ketatanegaraan Belanda terhadap keadaan yang berubah serta menentukan kedudukan
daerah seberangdalam struktur Kerajaan Belanda. Akan tetapi, masalah itu
pun ditunda hingga Perang Dunia II selesai.
Usulan
pembentukan milisi pribumi yang berdasarkan kewajiban warga negara untuk
mempertahankan negerinya juga ditolak oleh pemerintah kolonial dengan alasan
bahwa perang modern lebih memerlukan angkatan perang yang professional. Sikap
menunda itu pun diperlihatkan Belanda pada saat dilontarkan Piagam
Atlantik (Atlantic Charter) oleh Perdana Menteri Inggris Woodrow Wilson dan
Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt yang menjamin hak setiap bangsa untuk
memilh bentuk pemerintahannya sendiri.
Satu-satunya
hasil dari berbagai upaya kaum pergerakan melalui Dewan Rakyat adalah
pembentuka Komisi Vismen (Commissie-Visman) pada bulan Maret 1941. Komisi
tersebut bertugas meneliti keinginan, cita-cita, serta pendapat yang ada pada
berbagai golongan masyarakat mengenai perbaikan pemerintahan. Hasilnya
diumumkan pada bulan Desember 1941 yang menyatakan bahwa penduduk sangat puas
dengan pemerintah Belanda.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1
kesimpulan
Sejarah
Pergerakan Nasional adalah bagian dari Sejarah Indonesia yang meliputi periode
sekitar empat puluh tahun, yang dimulai sejak lahirnya Budi Utomo (BU) sebagai
organisasi nasional yang pertama tahun 1908 sampai terbentuknya bangsa
Indonesia pada tahun 1945 yang ditandai oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Sejarah Pergerakan Nasional sebagai fenomena historis merupakan hasil dari
perkembangan faktor ekonomi, sosial, politik, kultural dan religius dan di
antara faktor-faktor itu saling terjadi interaksi.
Ada
dua factor yang mendorong segi-segi integrasi dari nasionalisme
Indonesia. Pertamafaktor internal yang menunjukkan persamaan perasaan
karena tekanan-tekanan kolonial sehingga menciptakan perasaan senang-tidak
senang, setia-melawan, setuju-tidak setuju, dan lain sebagainya. Adapun
yang kedua adalah factor eksternal berupa faham-faham nasionalisme yang
membuahkan nasionalisme itu sendri. Faktor-faktor eksternal maupun internal itu
tidak akan banyak berpengaruh jika sekiranya kaum intlektualis tidak muncul
dalam panggung organisasi politik dan organisasi pergerakan nasional. Sebagai
elit baru kaum intelektualis ini tentu saja menghendaki amsyarakat yang bebas
dari pengawasan kolonial, yang dengan sadar ingin mengubah kedudukan bangsanya.
3.2
saran
Dengan
selesainya makalah ini, saya harapkan masukan dan kritikan dari kawan- kawan
yang bersifat membangun.
DAFTAR
PUSTAKA
Dimjati,
M. (1951). Sedjarah Perdjuangan Indonesia. Djakarta: Widjaja.
Poesponegoro,
M.D. dan Notosusanto, N. (1981). Sejarah Nasional Indonesia . Jilid
V. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs,
M.C. (1991). Sejarah Indonesia Modern. Terj. Dharmono Hardjowidjono.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar