konsep pendidikan islam menurut ibnu maskawaih
Pendahuluan Pengertian pendidikan secara umum,
yang kemudian dihubungkan dengan islam sebagai suatu sistem keagamaan
menimbulkan pengertian-pengertian baru, yang secara implisit menjelaskan
karakteristik-karekteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan
seluruh totalitasnya dalam konteks islam inheren dalam konotasi istilah “
Tarbiyah”, “ Ta’lim” dan “ Ta’dib” yang harus dipahami secara
bersama-sama.[1]
Dengan demikian pendidikan islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang
dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial,
untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fitrah) maupun ajar yang sesuai
dengan fitahnya melalui proses intelektual dan spritual berlandaskan nilai
islam untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.[2]
Dari uraian diatas terlihat dengan jelas bahwa pemikiran muslim tentang
pendidikan islam tidaklah monotelik.[3] Setiap pemikir memiliki
kecenderungan pemikiran yang khas dengan setting sosial-kultural pemikir
yang bersangkutan. Disini punulis akan menganalisi dan mendiskripsikan konsep
pendidikan islam menurut Ibn Miskawaih PEMBAHASAN
- Riwayat
Hidup Ibn Miskawaih
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahri
pada tahun 320 H/ 932 M. Di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9
shafar tahun 412 H/ 16 Februari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa
pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450 H/ 932-1062 M.) yang sebagian besarnya
adalah bermadzhab syi’ah.
Dari latar belakang pendidikanya bahwa Ibn Miskawaih mempelajari sejarah dari
Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi; mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan
mempelajari kimia dari Abu Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan, tercatat, bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah
bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan pendidik anak dari pemuka dinasti
Buwaihi. Selain itu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang
kemasyhurannya melebih pendahulunya, At-Thabari ( w. 310 H/ 923 M ).
Selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa.
Ia juga diduga beraliran syi’ah, karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk
mengabdi kepada pemerintah Dinasti Buwaihi. Ketika muda, ia mengabdi kepada
Al-Muhallabi, wajirnya pangeran Buwaihi yang bernama Mu’iz al-Daulah di
Baghdad. Setelah wafatnya Al-Mullabi pada 352 H (963 M), dia berupaya dan
akhirnya diterima oleh Ibn al-‘Amid, saudaranya Mu’iz al-Daulah yang bernama
Rukn al-Daulah yang berkedudukan di ray. Lau Misakawaih meninggalkan Ray menuju
Baghdad dan mengabdi kepada istana pangeran Buwaihi, ‘Adhud al-Daulah.
Miskawaih mengabdi kepada pangeran ini sebagai bendaharawan dan juga memengang
jabatan-jabatan lain. Setelah pangeran ini wafat pada 372 h (983 M), Miskawaih
tetap mengabdi kepada para pengganti ini, Shamsan al-Daulah (388 H/998 M), dan
Baha’ al-Daulah (403 H/1012 M) dan naik selama periode Baha al-Daulah keposisi
yang amat prestisius dan berpengaruh. Dia mencurahkan tahun-tahun terakhir dari
hidupnya untuk menulis.[4]
- Konsep
pendidikan Ibn Miskawaih
Pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya
tentang manusia dan akhlak. Dari karya Ibn Miskawaih tidak ditemukan buku
bertemakan“ Pendidikan” secara langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya
berkaitan dengan pendidikan dan kejiwaan, akal serta etika. Salah salah satu
buku yang dinilai banyak yang mengandung konsep pendidikan ialah kitab Tahzib
al-Akhlak wa Tahrir al-A’raq, yang banyak dijadikan rujukan ulama’ dalam
pendidikan.1). Manusia dan PendidikanIbn Miskawaih mengakui bahwa
pendidikan berfungsi sebagai pembentukan keperibadian manusia, dengan segala
daya yang dimilikinnya, sehingga tercipata manusia yang memiliki malalakah dan
karakter mulia, malakah adalah sifat yang berurat dan berakar, sebagai hasil
dari sesuatu pekerjaan secara berulang, sehingga bentuk aktivitas tersebut
tertanam dalam jiwa jiwa yang kuat. Secara etimologi kata malakah berarti
menjadikan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai; suatu sifat yang mengakar dalam
jiwa. Jika kata tersebutdihungkan dengan persoalan belajar, maka akan bermakna
suatu tingkat capaian dan sikap tertentu sebagai akibat dari proses belajarManusia dalam menerima perubahan
karakter, mempunyai banyak tingkatan. Hal ini sebagaimana perkembangan anak,
dimana ada yang siap menerima perbaikan karakter, ada yang enggan, ada yang
keras, lembut, kikir, dengki, bahkan saling kontradiksi. Maka selamannya ia
akan mengikuti tabiat yang demikian, ia akan berbuat sesuai dengan selera
alamiahnya, menurut Ibn Miskawaih manusia adalah makhluk yang istimewa karena
daya pikirannya, dengan demikian maka pendidikan merupakan kewajiban, karena
tanpa pendidikan pikiran manusia tidak akan berfungsi sebagaiman diharapkan.
Akibatnya manusia tidak bisa menjalankan syari’at agama dengan benar, sehingga
turunlah derajatnya menjadi binatang.2). Dasar dan Faktor PendidikanDasar adalah landasan bagi
berdirinnya sesuatu yang memberikan arah bagi tujuan yang hendak dicapai.
Menurut Ibn Miskawaih dasar Pendidikan adalah:a)
Syari’atIbn Miskawaih tidak menjelaskan
secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa
syariat agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang
menjadikan manusia tebiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa
mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat
memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran akurat. Dengan demikian syariat
agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada
Al-Qur’an dan sunnah. Oleh karena itu, prinsip syari’at harus diterapkan dalam
proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan tuhan, manusia
dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.b)
PsikologiMenurut Ibn Miskawaih, antara
pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Unutk menjadikan
karakter yang baik, harus melalui perekayasaan ( shina’ah ) yang didasarkan
pada pendidikan serta pengarahan sisitematis. Itu semua tidak akan tercapai
kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan
baik, maka manusia akan samapai pada tujuan yang tertinggi dan mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan
landasan penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan
psikologi laksana pekerja tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu
diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibn Miskawaih adalah orang
yang pertama kali melanadaskan pendidikan pengetahuan psikologi. Ia adalah
printis psikologi pendidikan, dan layak disebut Bapak Psikologi Pendidikan.[5] 3)
Pendidikan AkhlakPendidikan
akhlak yang dirumuskan Ibn Miskwaih adalah terwujudnya sikap batin yang mempu
mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik
sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan
sempurnaan.
Sejalan
dengan urain tersebut, Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok yang dipahami
sebagai materi pendidikan akhlak. Tiga hal pokok tersebut adalah
(1)
hal-hal yang wajib bagi kebutuhan manusia,
(2)
hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan
(3)
hal-hal yang wajib bagi hubunganya dengan sesama manusia.
Ketiga
pokok materi tersebut menurut Ibn Miskawaih dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang
secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua. Pertama ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan pemikiran yang selanjutnya disebut al-ulum al-fikriyah, dan
kedua ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera yang selanjutnya disebut al-ulum
al-hissiyat.[6] 4)
Pendidik dan Anak DidikPendidik yang dalam hal ini guru,
instruktur, ustadz, atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan
kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau
mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian
yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik yang
menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.[7]Kedua aspek pendidikan (pendidik dan
anak didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya,
orang tua merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat
sebagai acuan utama meteri pendidiknya. Karena peran yang demikian besar dari
orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis
antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian,
cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibn Miskawaih harus melebihi cintanya
terhadap orang tuanya sendiri.Ibn Miskawaih juga menyatakan bahwa
cinta itu banyak jenis, sebab dan kualitasnya. Secara umum ia membagi cinta
kepada empat bagian. Pertama, cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat pudar.
Kedua, cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat meudar. Ketiga, cinta yang
melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat pula, dan keempat cinta yang melekat
dan pudarnya lambat. Cinta yang dasarnya karena kenikmatan, termasuk cinta yang
cepat melekat dan cepat pula pudarnya. Sedangkan cinta yang dasarnya karena
kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat tetapi lambat pudarnya. Selanjutnya
cinta yang didasarkan atas kemanfaatan, termasuk cinta yang lambat melekatnya
dan cepat pula pudar. Sedangkan cinta yang dasarnya adalah semua jenis kebaikan
tersebut, maka melekat dan pudarnya lambat.Adapun yang dimaksud guru biasa oleh
Ibn Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena jabatan.
Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan antara
lain: bisa dipercaya; pandai; dicintai; sejarah hidupnya jelas tidak tercemar
masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan
harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.[9] 5)
Lingkungan PendidikanIbn Misakawaih berpendapat bahwa
usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adat) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi
harus bersama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Kondisi
demikian akan tercipta apabila sesama manusia saling mencintai. Setiap pribadi
merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang
lainya. Jika tidak demikian, maka kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan
sempurna. Atas dasar itu, maka setiap individu mendapati posisi sebgai salah
satu anggota dari selurruh anggota badan. Manusia menjadi kuat dikarenakan
anggota-anggota badannya.[10]
Selanjutnya Ibn Miskwaih berpendapat
bahwa salah satu tabiat manusisa adalah memelihara diri. Karena itu manusia
selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Manfaat
dari hasil pertemuanya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kesetabilan
cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melaksanakan
kewajiban syari’at. Shalat jum’at, shalat berjama’ah, shalat hari raya, dan
haji menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk
salaing bertemu, sekurang-kurangnya satu minggu sekali.pertemuan ini bukan saja
dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat, tetapi sampai pada
tingkat yang paling jauh.Ibn Misakawaih membicarakan
lingkunan pendidikan dengan cara yang bersifat umum. Yaitu dengan membicarakan
lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari lingkungan sekolah yang
menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintahan yang menyangkut
hubungan rakyat dan pemimpinya, samapai lingkungan rumah tangga yang meliputi
hubungan orang tua dengan anak dan anggota lingkunga lainya. Keseluruhan
lingkungan ini satu dan lainnya secara akumulatif berpengaruh terhadap
terciptanya lingkungan pendidikan. 6)
Metodologi PendidikanMetodologi pendidikan dapat
diartikan sebagi cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih
baik dari sebelumnya. Dengan demikian metode ini terkait dengan perubahan dan
perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan akhlak maka metode pendidikan disini
berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Dalam kaitan Ibn Miskawaih
berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakaan bawaan atau
warisan, karena jika demikian keadaannya tidak diperlukan adanya pendidikan.
Ibn Miskawaih berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat diusahakan atau
menerima perubahan yang diusahakan. Jika demikian halnya, maka usaha-usaha
untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya
dengan dengan istilah metodologi.Terdapat beberapa metode yang
diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanaya
kemauan sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-‘adat
wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai
dengan keutamaan jiwa. Latihan yang sungguh-sungguh semacam ini diumpamakan
oluh Ibn Miskawaih seperti kesiapan raja sebelum berhadapan dengan musuh.
Kesiapan dimaksud mengandung pengertian harus dilakukan secara dini, terus
menerus dan tidak menunggu waktu. Metode semacam ini ditemui pula dalam karya
etika para filosof yang lain sperti halnya yang dilakukan al-Ghazali, Ibn Arabi
dan Ibn Sina, metode ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh
keutamaan jiwa.Kedua, dengan menjadikan semua
pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun
pengetahuan dan pengalaman dimaksud denga pernyataan ini adalah pengetahuan dan
pengalaman berkenaan dengan hukum-hukun akhlak yang berlaku bagi sebab
munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia.dengan cara ini seseorang tidak
akan hanyut kedalam perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada
perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur
kejelakan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya, bahwa
dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu
menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan
selalu meninjau kembali semua perbuatanya, sehingga tidak satupun perbuatanya
terhindar dari perhatianya. 7)
Tujuan PendidikanIbn
Miskawaih memusatkan perhatiannya kepada filsafat akhlak. Karena itu corak
pemikiran pendidikannya bertendensi moral. Adapun tujuan pendidikan menurut Ibn
Miskawaih adalah idealistik –spritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan,
bukan sebagai manusia yang kemanusiaanya tanggal. Rumusan ini sejalan dengan
fungsi kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yaitu
sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Qalam: 4: “ Dan sesungguhnya kamu
benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Dari sinilah kebanyakan para ahli
pendidik muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan islam yang paling pokok adalah
pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan
islam inilah kemudiaan menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam.
Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah:“ dan diantara mereka ada orang yang
berdo’a: ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan akhirat dan
peliharalah kami dari siksa neraka”. KESIMPULAN Dari konsep pemikiran pendidikan
yang disampaikan oleh Ibn Miskawaih, jika ditelaah dengan pendekatan
epistemologi secara hirarki, maka konsep tersbut selalu mengacu kepada tiga
hirarki, yaitu yang mengacu pada kondisi pesikologis dan kesiapan peserta
didik, yang ditetapkan menjadi tiga tingkatan yaitu bayany untuk pemula,
burhany untuk orang dewasa dan irfany bagi mereka yang matang baik jiwa maupun
intelektual. Sementara dari segi materi dan sasarannya juga dikelompokan
menjadi tiga kelompok yaitu empirik bagi pemula, logik bagi dewasa dan etik
bagi mereka yang sudah matang. DAFTAR PUSTAKAAzra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Islam. Cetakan ke IV.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.Kholiq, Abdul.1999.Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh
Klasik dan Kontemporer, Cet. I. Semarang: Pustaka Pelajar Offset.Nasution, Hasyimsyah.1999. Filsafat Islam, Cet, Ke Empat. Jakarta:
penerbit Gaya Media Pratama.Suyudi, M. 2005. Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an.
Cet. I.Yogyakarta: penerbit Mikraj.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam,Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, Cet. IV. (jakarta: Logos Wacan Ilmu, 2002)
H.M. Suyudi, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an,
Cet. I. (Yogyakarta; penerbit Mikraj, januari 2005)
Abdul Kholiq,
dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian
Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. ( Semarang: Pustaka Pelajar Offset,
1999)
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,
Cet, Ke Empat,( Jakarta; penerbit: Gaya Media Pratama, 1999.)
H.M. Suyudi, Pendidikan dalam perspektif
Al-Qur’an, Cet. I. ( Yogyakarta; penerbit Mikraj, januari 2005), Hlm, 243.
Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan
Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. ( Semarang: Pustaka
Pelajar Offset, 1999), Hlm, 12.
Ibid., hlm. 16.
Ibid.,
hlm.19- 20.
Ibid., hlm. 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar