Jumat, 10 April 2015

konsep pendidikan islam menurut ibnu maskawaih

Pendahuluan  Pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian dihubungkan dengan islam sebagai suatu sistem keagamaan menimbulkan pengertian-pengertian baru, yang secara implisit menjelaskan karakteristik-karekteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks islam inheren dalam konotasi istilah “ Tarbiyah”, “ Ta’lim”  dan “ Ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama.[1]            Dengan demikian pendidikan islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fitrah) maupun ajar yang sesuai dengan fitahnya melalui proses intelektual dan spritual berlandaskan nilai islam untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.[2]            Dari uraian diatas terlihat dengan jelas bahwa pemikiran muslim tentang pendidikan islam tidaklah monotelik.[3] Setiap pemikir memiliki kecenderungan pemikiran yang khas dengan setting sosial-kultural pemikir yang bersangkutan. Disini punulis akan menganalisi dan mendiskripsikan konsep pendidikan islam menurut Ibn Miskawaih  PEMBAHASAN 
  1. Riwayat Hidup Ibn Miskawaih
            Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahri pada tahun 320 H/ 932 M. Di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 shafar tahun 412 H/ 16 Februari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450 H/ 932-1062 M.) yang sebagian besarnya adalah bermadzhab syi’ah.            Dari latar belakang pendidikanya bahwa Ibn Miskawaih mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi; mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Thayyib.            Dalam bidang pekerjaan, tercatat, bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan pendidik anak dari pemuka dinasti Buwaihi. Selain itu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya melebih pendahulunya, At-Thabari ( w. 310 H/ 923 M ). Selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa.
            Ia juga diduga beraliran syi’ah, karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah Dinasti Buwaihi. Ketika muda, ia mengabdi kepada Al-Muhallabi, wajirnya pangeran Buwaihi yang bernama Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya Al-Mullabi pada 352 H (963 M), dia berupaya dan akhirnya diterima oleh Ibn al-‘Amid, saudaranya Mu’iz al-Daulah yang bernama Rukn al-Daulah yang berkedudukan di ray. Lau Misakawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana pangeran Buwaihi, ‘Adhud al-Daulah. Miskawaih mengabdi kepada pangeran ini sebagai bendaharawan dan juga memengang jabatan-jabatan lain. Setelah pangeran ini wafat pada 372 h (983 M), Miskawaih tetap mengabdi kepada para pengganti ini, Shamsan al-Daulah (388 H/998 M), dan Baha’ al-Daulah (403 H/1012 M) dan naik selama periode Baha al-Daulah keposisi yang amat prestisius dan berpengaruh. Dia mencurahkan tahun-tahun terakhir dari hidupnya untuk menulis.[4]
 
  1. Konsep pendidikan Ibn Miskawaih
            Pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Dari karya Ibn Miskawaih tidak ditemukan buku bertemakan“ Pendidikan” secara langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya berkaitan dengan pendidikan dan kejiwaan, akal serta etika. Salah salah satu buku yang dinilai banyak yang mengandung konsep pendidikan ialah kitab Tahzib al-Akhlak wa Tahrir al-A’raq, yang banyak dijadikan rujukan ulama’ dalam pendidikan.1). Manusia dan PendidikanIbn Miskawaih mengakui bahwa pendidikan berfungsi sebagai pembentukan keperibadian manusia, dengan segala daya yang dimilikinnya, sehingga tercipata manusia yang memiliki malalakah dan karakter mulia, malakah adalah sifat yang berurat dan berakar, sebagai hasil dari sesuatu pekerjaan secara berulang, sehingga bentuk aktivitas tersebut tertanam dalam jiwa jiwa yang kuat. Secara etimologi kata malakah berarti menjadikan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai; suatu sifat yang mengakar dalam jiwa. Jika kata tersebutdihungkan dengan persoalan belajar, maka akan bermakna suatu tingkat capaian dan sikap tertentu sebagai akibat dari proses belajarManusia dalam menerima perubahan karakter, mempunyai banyak tingkatan. Hal ini sebagaimana perkembangan anak, dimana ada yang siap menerima perbaikan karakter, ada yang enggan, ada yang keras, lembut, kikir, dengki, bahkan saling kontradiksi. Maka selamannya ia akan mengikuti tabiat yang demikian, ia akan berbuat sesuai dengan selera alamiahnya, menurut Ibn Miskawaih manusia adalah makhluk yang istimewa karena daya pikirannya, dengan demikian maka pendidikan merupakan kewajiban, karena tanpa pendidikan pikiran manusia tidak akan berfungsi sebagaiman diharapkan. Akibatnya manusia tidak bisa menjalankan syari’at agama dengan benar, sehingga turunlah derajatnya menjadi binatang.2). Dasar dan Faktor PendidikanDasar adalah landasan bagi berdirinnya sesuatu yang memberikan arah bagi tujuan yang hendak dicapai. Menurut Ibn Miskawaih dasar Pendidikan adalah:a)      Syari’atIbn Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syariat agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia tebiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran akurat. Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah. Oleh karena itu, prinsip syari’at harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.b)      PsikologiMenurut Ibn Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Unutk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan ( shina’ah ) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan sisitematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia akan samapai pada tujuan yang tertinggi dan mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerja tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibn Miskawaih adalah orang yang pertama kali melanadaskan pendidikan pengetahuan psikologi. Ia adalah printis psikologi pendidikan, dan layak disebut Bapak Psikologi Pendidikan.[5] 3)      Pendidikan AkhlakPendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskwaih adalah terwujudnya sikap batin yang mempu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurnaan.
Sejalan dengan urain tersebut, Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok yang dipahami sebagai materi pendidikan akhlak. Tiga hal pokok tersebut adalah
(1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan manusia,
(2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan
(3) hal-hal yang wajib bagi hubunganya dengan sesama manusia.
Ketiga pokok materi tersebut menurut Ibn Miskawaih dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua. Pertama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran yang selanjutnya disebut al-ulum al-fikriyah, dan kedua ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera yang selanjutnya disebut al-ulum al-hissiyat.[6] 4)      Pendidik dan Anak DidikPendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz, atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik yang menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.[7]Kedua aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai acuan utama meteri pendidiknya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibn Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri.Ibn Miskawaih juga menyatakan bahwa cinta itu banyak jenis, sebab dan kualitasnya. Secara umum ia membagi cinta kepada empat bagian. Pertama, cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat pudar. Kedua, cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat meudar. Ketiga, cinta yang melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat pula, dan keempat cinta yang melekat dan pudarnya lambat. Cinta yang dasarnya karena kenikmatan, termasuk cinta yang cepat melekat dan cepat pula pudarnya. Sedangkan cinta yang dasarnya karena kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat tetapi lambat pudarnya. Selanjutnya cinta yang didasarkan atas kemanfaatan, termasuk cinta yang lambat melekatnya dan cepat pula pudar. Sedangkan cinta yang dasarnya adalah semua jenis kebaikan tersebut, maka melekat dan pudarnya lambat.Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya; pandai; dicintai; sejarah hidupnya jelas tidak tercemar masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.[9]   5)      Lingkungan PendidikanIbn Misakawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adat) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Kondisi demikian akan tercipta apabila sesama manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainya. Jika tidak demikian, maka kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan sempurna. Atas dasar itu, maka setiap individu mendapati posisi sebgai salah satu anggota dari selurruh anggota badan. Manusia menjadi kuat dikarenakan anggota-anggota badannya.[10]
Selanjutnya Ibn Miskwaih berpendapat bahwa salah satu tabiat manusisa adalah memelihara diri. Karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Manfaat dari hasil pertemuanya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kesetabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melaksanakan kewajiban syari’at. Shalat jum’at, shalat berjama’ah, shalat hari raya, dan haji menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk salaing bertemu, sekurang-kurangnya satu minggu sekali.pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat, tetapi sampai pada tingkat yang paling jauh.Ibn Misakawaih membicarakan lingkunan pendidikan dengan cara yang bersifat umum. Yaitu dengan membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintahan yang menyangkut hubungan rakyat dan pemimpinya, samapai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak dan anggota lingkunga lainya. Keseluruhan lingkungan ini satu dan lainnya secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan. 6)      Metodologi PendidikanMetodologi pendidikan dapat diartikan sebagi cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian metode ini terkait dengan perubahan dan perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan akhlak maka metode pendidikan disini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Dalam kaitan Ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakaan bawaan atau warisan, karena jika demikian keadaannya tidak diperlukan adanya pendidikan. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Jika demikian halnya, maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dengan dengan istilah metodologi.Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanaya kemauan sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Latihan yang sungguh-sungguh semacam ini diumpamakan oluh Ibn Miskawaih seperti kesiapan raja sebelum berhadapan dengan musuh. Kesiapan dimaksud mengandung pengertian harus dilakukan secara dini, terus menerus dan tidak menunggu waktu. Metode semacam ini ditemui pula dalam karya etika para filosof yang lain sperti halnya yang dilakukan al-Ghazali, Ibn Arabi dan Ibn Sina, metode ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa.Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman dimaksud denga pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukun akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia.dengan cara ini seseorang tidak akan hanyut kedalam perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelakan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya, bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatanya, sehingga tidak satupun perbuatanya terhindar dari perhatianya. 7)      Tujuan PendidikanIbn Miskawaih memusatkan perhatiannya kepada filsafat akhlak. Karena itu corak pemikiran pendidikannya bertendensi moral. Adapun tujuan pendidikan menurut Ibn Miskawaih adalah idealistik –spritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan, bukan sebagai manusia yang kemanusiaanya tanggal. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Qalam: 4: “ Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Dari sinilah kebanyakan para ahli pendidik muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan islam yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan islam inilah kemudiaan menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam. Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah:“ dan diantara mereka ada orang yang berdo’a: ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.  KESIMPULAN Dari konsep pemikiran pendidikan yang disampaikan oleh Ibn Miskawaih, jika ditelaah dengan pendekatan epistemologi secara hirarki, maka konsep tersbut selalu mengacu kepada tiga hirarki, yaitu yang mengacu pada kondisi pesikologis dan kesiapan peserta didik, yang ditetapkan menjadi tiga tingkatan yaitu bayany untuk pemula, burhany untuk orang dewasa dan irfany bagi mereka yang matang baik jiwa maupun intelektual. Sementara dari segi materi dan sasarannya juga dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu empirik bagi pemula, logik bagi dewasa dan etik bagi mereka yang sudah matang. DAFTAR PUSTAKAAzra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Islam. Cetakan ke IV. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.Kholiq, Abdul.1999.Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. Semarang: Pustaka Pelajar Offset.Nasution, Hasyimsyah.1999. Filsafat Islam, Cet, Ke Empat. Jakarta: penerbit Gaya Media Pratama.Suyudi, M. 2005. Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an. Cet. I.Yogyakarta: penerbit Mikraj.   

[1]  Azyumardi Azra, Pendidikan Islam,Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,  Cet. IV. (jakarta: Logos Wacan Ilmu, 2002)
[2]  H.M. Suyudi, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, Cet. I. (Yogyakarta; penerbit Mikraj, januari 2005)
[3]  Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. ( Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 1999)
[4]  Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet, Ke Empat,( Jakarta; penerbit: Gaya Media Pratama, 1999.)
[5] H.M. Suyudi, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, Cet. I. ( Yogyakarta; penerbit Mikraj, januari 2005), Hlm, 243.
[6] Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. ( Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 1999), Hlm, 12.
[7]  Ibid., hlm. 16.
[9] Ibid., hlm.19- 20.
[10]
  Ibid., hlm. 20. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar